Yo Wis Ben: Eksperimen yang Menghibur, Meski Hanya Sekadar Unik

Yo Wis Ben: Eksperimen yang Menghibur, Meski Hanya Sekadar Unik

ADA keberanian dari produser dan pembuat film Yo Wis Ben menggunakan bahasa Jawa. Sepertinya banyak premis ingin dibuktikan. Bahwa bahasa bukan kendala, bahwa pasar penonton dengan latar berbahasa Jawa juga lumayan besar. Sebaran bisokop di pulau Jawa dengan asumsi penonton memahami bahasa Jawa, pun besar.

Pertimbangan lain, Yo Wis Ben akan lebih komunikatif apabila menggunakan bahasa Jawa (Jawa Timuran, tepatnya Malang). Analogi yang sama adalah film-ilm berbahasa asing, juga tak terkendala urusan bahasa dengan pencantuman ‘subtitle’ terjemahan dialog. Pada kenyataannya, bahasa memang bukan kendala, toh Yo Wis Ben direspons positif penonton. Sampai minggu ketiga sudah mendekati angka penjualan sejuta penonton.

Yo Wis Ben menarik, juga karena menjual lokalitas dengan cerita universal. Bahkan problem yang hadir merupakan persoalan umum yang terjadi dan bisa dialami semua orang. Bukan anak-anak muda saja. Persahabatan, perjuangan, pembuktian diri, cinta, juga merupakan cerita yang umum ada di kebanyakan film drama. Jadi sesungguhnya Yo Wis Ben, memanfaatkan lokalitas bahasa sebagai keunikan, sementara cerita dan isu konten film tetaplah universal. Persoalan umum yang bisa terjadi dan dialami siapa saja!

Apakah Yo Wis Ben bereksperimen dengan film dan potensi penonton?

Jawabnya ‘iya’. Pembuat ingin bereksperimen dengan cerita pop berbahasa Jawa. Cerita yang umum terjadi dikemas dengan lokalitas geografis dan bahasa. Dan terbukti, Yo Wis Ben direspons positif. Kalau pun data penonton diperinci, penonton dengan kemampuan pemahaman bahasa Jawa lebih dominan.

Namun kalau mencermati dialog bahasa Jawa Timuran untuk wilayah Malang, sesungguhnya dialog yang digunakan para pemain masihlah ‘belepotan’. Apalagi untuk ‘kera ngalam’ (arek Malang), di strata sosial seperti Bayu (Bayu Skak), banyak kata-kata yang tidak pas digunakan. Termasuk judul film ‘Yo Wis Ben’ bukanlah frasa yang lumrah diucapkan anak Malang. Itu sebabnya, penggunaan bahasa Jawa dalam film ini tidak lebih sebagai eksperimen tanpa totalitas penggunaan kata, frasa maupun kalimat yang pas. Hanya lebih pada kebutuhan ‘memaknai keunikan’ sebuah karya film. 

Yo Wis Ben laris manis, meskipun secara filmis manyisakan banyak kekurangan – untuk menyebut kelemahan. Sebagian besar film Indonesia saat ini banyak yang berhasil dari sisi ‘ide’ maupun kemasan. Namun selalu meninggalkan kelemahan urusan ‘kedalaman’ konten. Padahal Yo Wis Ben punya potensi besar menghadirkan film dengan pesan yang kuat di bagian cerita. Jadinya, kelucuan lebih dominan dibanding keinginan memaknai setiap bagian cerita maupun adegan.

Selama adegan dan dialog mampu mengundang gelak tawa penonton, sudah dianggap sebagai ukuran keberhasilan menghibur penonton. Yo Wis Ben sebagai film box office sesungguhnya punya potensi lebih besar menghasilkan film berkualitas. Tapi kalau ukuran keberhasilan film adalah mampu menghibur penonton, Yo Wis Ben sudah memenuhi unsur tersebut. Setuju?

(Sinemata/*)

Sutradara: Fajar Nugros

Pemain: Bayu Skak, Joshua Suherman, Brandon Salim, Tutus Thomson, Cut Meyriska, Indra Wijaya

Tags