Pasar Film China (3): Berubahnya Selera Penonton, Potensi Jualan

Pasar Film China (3):  Berubahnya Selera Penonton, Potensi Jualan
Potensi jumlah penonton di China yang sangat besar didukung jumlah layar yang mencapai 54 ribu layar, menjadi pasar film yang menggiurkan. (Foto dok. qz.com)

PASAR perfilman China sudah berubah selera. Film Hollywood tidak selaris sebelumnya. Walaupun kuartal pertama 2018, penjualan tiket di China masih mencapai 3,2 miliar dolar (setara Rp 40 triliun), film Hollywood yang direspons paling positif, Black Panther meraup pendapatan 105 juta dolar (setara Rp 1,4 triliun). Sedangkan film Hollywood  lain hanya meraih kurang dari 100 juta dolar (Rp 1,3 triliun).

Tren ini merupakan pola yang berlanjut. Bahkan di tahun 2015, hanya tiga film Hollywood menjadi film popular di China, “Furious 7,” “Avengers: Age of Ultron,” dan “Jurassic World”.

Kebosanan dan Keseragaman Tema

Salah satu penyebabnya, cerita yang ditawarkan sama. Individualisme dan keinginan karakter untuk bebas ataupun membebaskan diri dan memenangkan pertarungan dengan otoritas menjadi hal yang dianggap basi di Cina.

Sebaliknya film produksi China, Wolf Warrior 2, justru menawarkan sebaliknya. Konsep patriotisme dan nasionalisme menjadi sesuatu yang penting bagi penonton dan sangat disuka penonton di daratan China. Superioritas elit pasukan hanya dominasi Hollywood. Tapi begitu kisah pasukan khusus Red Army (pasukan khusus Tiongkok), menjadi hero di film produksi mereka, langsung direspons positif. Film yang bercerita tentang kecintaan pada negara, media China menyebutnya sebagai ultra-nasionalis, sangat disuka penonton. Jadilah Wolf Warrioir mampu meraup 854 juta dolar di peredaran lokal China.

Sebab lainnya seperti dikatakan Kevin Zhu, 31 tahun. Dulu ia terkesima dengan film-film Hollywood. Sekarang ia merasa kalau mereka terlalu komersial dengan cerita yang seadanya. Ia akhirnya lebih memilih film lain, yang lebih serius dalam penggarapan kisah.

Alternatif Film

Membaiknya kualitas film lokal China, ditambah adanya alternatif selain film Hollywood. Misalnya film dari India, Eropa, Jepang, maupun Asia Tenggara. Dibandingkan film Hollywood, film asing lainnya relatif sukses di pasar China jika dibandingkan dengan bujet produksi dan marketing. Kuota film asing yang ditingkatkan dari 10 judul pada 2012 menjadi 34 judul per tahun akhirnya harus mempertimbangkan pesaing baru dari film produksi lokal.

Dangal, film yang dibintangi Aamir Khan, di China daratan  meraih 193 juta dolar (setara Rp 2,6 triliun). Film ini laku keras karena mengangkat kisah dua gadis yang menantang nilai-nilai konvensional di masyarakat dan menjadi atlet gulat kelas olimpiade. Film Aamir Khan, Secret Superstar, meraih 117 juta dolar (setara Rp 1,57 triliun). Film yang menceritakan Insu, gadis yang tumbuh di keluarga patriarkis dengan ayah yang kasar. Ia mengunggah videonya menyanyi di Youtube ditutupi burqa. Banyak orang yang bersimpati pada Insu dalam menghadapi halangan meraih cita-cita dan menghadapi ayah yang keras.

Film Thailand Bad Genius, dua siswa SMA mencoba mencurangi tes untuk membantu anak-anak dari keluarga kaya untuk mengambil tes masuk universitas di Amerika, mendapatkan 41 juta dolar (Rp  550 miliar) dari pemutarannya di China. Atau kurang lebih 13 kali lipat pendapatannya di Thailand.

Terakhir, Contratiempo, thriller psikologis olahan Oriol Paulo, film tentang seorang tersangka pembunuhan yang harus melawan waktu, mampu meraih 26 juta dolar (Rp 350 miliar), atau  6 kali lebih banyak dibandingkan di negara asalnya.

Berubahnya Demografi Penonton

Demografi penonton di China berubah. Sudah lewat masanya science fiction berbujet besar yang mengandalkan kemegahan grafis komputer (CGI). Seiring masuknya teater-teater ke kota-kota kecil di China, penonton juga menginginkan konten lokal yang lebih dekat dengan keseharian. Dan tentunya kedekatan budaya Asia, bukan gaya Hollywood, ternyata direspons positif.

Sesungguh ini peluang buat produser dan pembuat film di luar Hollywood, teruatama Asia, atau kawasan pasifik. Pelaku industri perfilman China dengan segala potensi jumlah penonton dan jumlah layar bioskop yang mencapai 54 ribu layar di tahun 2018. Pasar penonton di China kini tak melulu terkagum dengan teknologi Hollywood. Apalagi menyangkut ideologi dan budaya, penonton di China memilih selektif tanpa perlu dibuatkan rambu atau undang-undang yang membatasi kebebasan memilih film.

Peluang besar menanti pembuat film yang tertarik mengumpulkan pundi-pundi uang dari penonton di daratan China. Tema-tema universal dan memiliki kedekatan budaya, menjadi kunci keberhasilan film-film di China. Film-film bertema keluarga, persahabatan, pendidikan yang membangkitkan motivasi dan memiliki keterikatan emosi, umumnya laku. Tak perlu pembuat film mengikuti jejak Hollywood yang selalu menyertakan atau menyediakan insersi adegan dengan produk-produk China. Sebut saja film Transformers: The Last Knight, yang menyertakan Mark Wahlberg meminum produk olahan susu bermerek Mengniu. Insersi atau atau built-in scene seperti Transformer pun tak jarang ditertawakan, dinyinyiri, atau bahkan dianggap mengganggu (abuse).

Jadi film yang mampu menyihir dengan kedalaman cerita hingga penonton peduli dengan karakter-karakter yang ada di dalamnya, lebih memiliki peluang laris dikonsumsi penonton film di daratan China. Wahai produser Indonesia, nih ada peluang super-besar. Mampu?

 

(Sinemata/ANH)

*Disarikan dari berbagai sumber

Tags