Bioskop di Arab Saudi (2): Izin Buat Pebisnis dan Pembuat Film Lokal

Bioskop di Arab Saudi (2): Izin Buat Pebisnis dan Pembuat Film Lokal

BIOSKOP pertama di Arab Saudi dibuka setelah 35 tahun periode pelarangannya. Industri yang baru akan dihidupkan kembali ini menyimpan banyak potensi. Di sisi lain, potensi penentang kebijakan ‘buka pintu’ untuk industri perfilman (termasuk bioskop) juga masih kuat. Kontroversi seperti ini masih mewarnai pembukaan bioskop pertama di Riyadh, 18 April 2018 lalu.

Kalaupun bisa menerima kebijakan pembukaan bioskop, beberapa syarat diajukan mereka-mereka yang menentang. Di antaranya adalah, segregasi (pemisahan) penonton perempuan dan laki-laki di raung publik Arab Saudi yang masih berlaku. Saat pembukaan bioskop pertama, kedua gender digabung dalam satu ruangan. Nah, praktik pemisahan penonton tidak akan diberlakukan saat pembukaan bioskop atau akan ada pemisahan seperti perundangan yang berlaku, masih menjadi tanda tanya.

Pemisahan penonton, pun akan dilakukan dengan berbagi layar dan ruangan seperti yang terjadi di restoran-restoran dengan membagi dua bagian, untuk lelaki lajang dan keluarga. Kalau pemisahan layar terjadi berarti akan meningkatkan biaya produksi penayangan film, termasuk penyediaan ruang teater. Padahal harga tiket masuk bioskop di Arab Saudi, lumayan mahal.

Tiket promosi dibandrol 20 dolar atau setara Rp 278ribu. Tiket regular dihargai 35 dolar (Rp 486ribu rupiah) setelah penambahan pajak, kata Adam Aron, CEO AMC. Pajak yang dikenakan juga cukup tinggi, sekitar 20 persen untuk pajak hiburan dan pajak pertambahan nilai. Apalagi setelah renovasi selesai dilakukan.

Ahmad Ismail dari grup konglomerasi Majid Al Futtaim, pemilik merek VOX Cinema, menambahkan bahwa konsumen di Saudi cukup pemilih. Mereka ingin mendapatkan pengalaman menonton bioskop yang sangat baik dan memuaskan. Andrew Cripps, CEO 20th Century Fox mengatakan harga yang tinggi dapat ditoleransi sementara waktu, karena semua ingin merasakan ‘era baru’ bioskop. Hanya saja hal ini berdampak negatif untuk kesinambungan industri di masa depan.

Tantangan kedua soal film-film yang dapat diputar di bioskop Arab Saudi. Film yang akan ditayangkan di Saudi dalam waktu dekat, seperti juga Black Panther, berasal dari Hollywood. Rampage, yang didistribusikan Warner Bros, dan Ferdinand, oleh 20th Century Fox, sedang menunggu keputusan lulus sensor. Ketentuan sensor di Arab Saudi mirip dengan negara-negara teluk lainnya yang cukup ketat. Film-film ini dapat lulus sensor karena tidak banyak adegan seksual, sehingga tidak banyak yang harus dipotong. Mereka juga tidak menyinggung keluarga kerajaan yang berkuasa.  

Bagaimana dengan konten-konten film lokal? Filmmaker lokal mengkhawatirkan kesempatan yang diberikan kepada pembuat film lokal. Mohammad Maki, pembuat seri Takki di Youtube menyebut bahwa film-film Amerika dan Mesir bisa menguasai layar bioskop jika Saudi tidak mulai mengembangkan konten lokalnya dari sekarang.

Abdulrahman Khawj, 30 tahun, pendiri Cinepoetics Production Company, juga punya kekhawatiran yang sama. Konten-konten lokal sangat mungkin dikembangkan oleh pelaku perfilman domestik.

“Hollywood mungkin mempunyai kelebihan di bidang teknis. Tetapi, pelaku film lokal justru bisa menggali cerita yang dekat dengan keseharian masyarakat Saudi. Misalnya, cerita tentang wanita yang akhirnya boleh menyetir setelah sekian lama dilarang. Hanya saja, saya tidak yakin tiap orang siap melihat filmnya,” jelas Khawj.

Masalah ketiga terkait pebisnis bioskop yang dapat menjalankan bisnis bioskop di tanah Saudi. Mereka harus membangun semuanya dari awal, karena belum ada infrastruktur pendukung yang memungkinkan bioskop berdiri dengan lebih mudah. Untuk saat ini baru dua pihak pemegang lisensi pendirian bioskop di Saudi. Jaringan bioskop American Multi-Cinema (AMC), yang mayoritas sahamnya dimiliki Wanda Grup dari China,  dan Majid Al-Futtaim pemegang merek VOX Cinema.

AMC berencana membuka 40 bioskop di 15 kota dalam periode 5 tahun ke depan. Tahun 2030, diharapkan 100 bioskop AMC dapat dibuka di 25 kota di Saudi. Majid Al-Futtaim akan membangun jaringan VOX Cinema. Mereka akan menginvestasikan Rp 7,4 triliun. Pembangunan bioskop-bioskop tersebut akan menyerap hingga tiga ribu tenaga kerja.

Warga Saudi tidak ingin hanya jadi pengkonsumsi saja. Mereka juga ingin ambil bagian. Shihab Jamjoom, keluarganya dulu mengoperasikan bioskop di Jeddah sebelum pelarangan, mau ikut andil. Selama pelarangan, inti usahanya diganti menjadi distribusi film asing ke Saudi, walaupun itu juga mendapatkan halangan dari pegawai pemerintah. Usahanya sekarang dikembangkan hingga ke lini produksi dan alih suara. Kini ia juga mau ikut membangkitkan bioskop di Saudi. Sayangnya, pemerintah membatasi pelaku bisnis lokal, sehingga hanya pihak yang telah menjalankan bisnis bioskop selama 10 tahun dengan minimal 100 layar dan memiliki dukungan finansial kuat yang dapat berkontribusi.

So, pelarangan bioskop di Arab Saudi sudah dicabut. Pelaku bisnis luar sudah diundang dan sudah bergerak aktif. Namun masih banyak kendala bagi pebisnis lokal untuk terjun pembangunan bioskop. Begitu juga produksi film, belum ada ketentuan dan kepastian jalur distribusi, termasuk proteksi yang akan diberlakukan.

Tapi untuk saat ini, banyak warga Saudi bersyukur, bahwa untuk menikmati film-film terbaru Hollywood, India, China juga negara-negara lain, tidak perlu terbang ke negeri tetangga seperti Kuwait, Arab Emirat, Qatar atau Bahrain. Film atau bioskop bukan menjadi produk yang dilarang lagi di Arab Saudi.

(Sinemata/ANH)

 

Tags