Bumi Manusia: Narasi Sarat Makna Telenovela Era Kolonial

Bumi Manusia: Narasi Sarat Makna Telenovela Era Kolonial

SAH-sah saja menyebut film Bumi Manusia seperti telenovela era kolonial. Boleh juga menyebut novel karya Pramoedya Ananta Toer karya roman klasik. Pahit, getir, dramatik, penuh satir. Atau dari sudut pandang harkat kemanusiaan, novel karya Pram ini kaya metafor kegetiran nasib manusia terjajah. Terbelenggu, teraniaya tak mampu berbuat apa-apa, meski inginnya semua-muanya

Hanung Bramantyo mencoba tidak menjadikan Bumi Manusia sebagai karya pop, receh atau ringan agar disuka penonton milenial. Tidak. Bahwa pilihan pemeran utamanya adalah pujaan milenial, itu lain urusan. Bumi Manusia, tetap punya koridor tidak menjadi karya ngepop. Meski sudah disebutkan, film Bumi Manusia terlihat seperti drama telenovela. Cinta Minke-Anelies bak opera sabun. Ya memang begitulah karya Pram!

Sudah nikmati roman klasik karya Pram lainnya, Gadis Pantai? Pun jauh lebih mendayu-dayu, meratap-ratap dalam mengemas feodalisme dan kaum jelata. Tapi sebagai karya penuh metafor, Gadis Pantai maupun Bumi Manusia sangat kuat mengangkat persoalan harkat kemanusiaan. Keterjajahan Minke tidak hanya dalam pemikiran, ia jadi warga kelas pariah walaupun bapaknya seorang bupati. Ia juga terjajah dalam kenyataan, Minke kalah dalam mempertahankan sang istri, meskipun ia telah berjuang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. 

Film Bumi Manusia juga menawarkan daya pikat perlawanan kaum terjajah. Tentu sangat penting memahami situasi menjelang akhir era kolonial. Menyaksikan film Bumi Manusia, penonton diajak tak sulit memahami semangat kebangsaan. Bahwa secara historis, semangat kebangsaan muncul, perlawanan terhadap feodalisme menguat. Pun hadirnya semangat merasa dipersatukan sebagai manusia terjajah. Film Bumi Manusia termasuk berhasil menarasikan semua ini.

Tak kalah positifnya, Hanung Bramantyo mampu membuka pintu literasi bagi penonton milenial. Ada kegairahan memahami baru dari anak-anak muda ini mempelajari karya-karya klasik, adalah keberhasilan tersendiri. Begitu banyak keriaan anak-anak muda merasa ingin berada dalam pusaran nyastra dan memahami karya-karya Pram. Utamanya Bumi Manusia. 

Sayang film Bumi Manusia digarap penuh keraguan dalam eksekusi filmis untuk ekranisasi satu karya berkelas dunia. Bujet besar layak digelontorlan agar set lokasi yang hadir lebih natural. Dan tak terkesan artifisial dengan bangunan-bangunan yang nampak kosong mirip panggung tonil. Perhatikan saja rumah ‘kos’ Minke. Atau setting kota Soerabaia yang dilintasi trem. Ada catatan menarik untuk jalur trem ini. Dari arsip kesejarahan trem di tengah kota memang pernah jadi ikon Surabaya. Begitu juga jalur rel yang memanjang hingga Wonokromo, tersedia hingga akhir 1970-an. 

Tapi tanah kebun nan luas milik keluarga Mellema, ‘buitenzorg’ disertai danau indah, sulit dicari rujukan historisnya untuk pinggiran Surabaya. Sudah bisa diduga, ini untuk kebutuhan gambar indah. Buitenzorg sendiri artinya ‘wilayah atau kota nan tenang’, sebutan yang pantas disematkan untuk kediaman keluarga Mellema. Walaupun rumah keluarga Nyai Ontosoroh sendiri menyimpan sekam dan menjadi sentral masalah kisah Bumi Manusia.       

Film Bumi Manusia jelas menjadi menarik ketika ia tidak saja menjadi pembuka cerita tetralogi (empat seri) novel karya Pramoedya Ananta Toer. Tapi Bumi Manusia sudah disambut penontonnya, meski untuk meraih peonton ideal – balik modal produksi – masih dibutuhkan banyak usaha. Setelah Bumi Manusia tentu perjalanan Minke mesti berlanjut ke cerita novel Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Andai Falcon Pictures memproduksi keempatnya, purna sudah kisah novel Pulau Buru ini. 

Hingga minggu ketiga sejak dirilis 15 Agustus 2019, tercatat 1,5an juta penonton menyaksikan Bumi Manusia. Sedikit terseok untuk mencatatakan diri sebagai film hit blockbuster, meski kemungkinan masih bisa mencapai 2 juta penonton. Semoga saja Falcon Pictures tetap melanjutkan logi-kedua, ketiga dan keempat novel klasik karya Pramodya Ananta Toer. 

Bumi Manusia bercerita tentang Minke – pribumi yang bersekolah di HBS, jiwanya gelisah melihat ketertindasan dan ketidakdilan warga negeri terjajah. Keinginannya menjadi manusia bebas yang tidak diperintah dan tidak memerintah, pupus setelah ia mengalami sendiri hak-haknya diabaikan. Sebagai suami, ia kehilangan Annelies -- istrinya -- karena pernikahannya tidak tercatat di pengadilan Belanda. Annelies harus dikembalikan ke wali-asuhnya di Belanda. 

Minke juga gagal menyelamatkan warisan mertuanya, Nyai Ontosoroh. Seorang nyai atau gundik tak berhak atas harta suami Belandanya. Berikutnya Minke harus kehilangan harkat kemanusiaannya. Sebagai orang yang terdidik, Minke gagal melawan pengadilan kolonial. Ia kalah segalanya, tapi tekadnya akan mengisi penanya dengan darah menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah. Hanya dengan akal-pikiran ia yakin mampu membangkitkan semangat perlawanan warga tanah jajahan. 

Prosa berikut sekan menjadi representasi sebagai jembatan menuju kisah sekuel kedua Bumi Manusia: “Eropa boleh pisahkan kita. Tapi tak bisa merenggut jiwa kita. Kepergianmu akan memantik jiwaku untuk mengubah negeriku agar tidak menjadi budak ditanahnya sendiri.”

Dilanjutkah perlawanan Minke, Falcon?

(Sinemata/ AMI)

Sutradara: Hanung Bramantyo

Pemain: Iqbal Ramadhan (Minke), Mawar Eva deJongh (Annelies), Sha Ine Febrianti (Nyai Ontosoroh), Ayu Laksmi (Ibu Minke), Donny Damara (Ayah Minke), Bryan Domani (Jan Dapperste/Panji Darman), Giorgino Abraham (Robert Mellema), Jerome Kurnia (Robert Suurhorf), Peter Sterk (Herman Mellema)

Tags