Durasi Film: Makin Lama, Makin Bikin Betah

Durasi Film: Makin Lama, Makin Bikin Betah

SAAT Avengers End Game dikabarkan tayang dengan durasi tiga jam, jagad maya langsung heboh. Ada yang mengolok-olok, ‘panjang banget’, ‘kayak film India’, ‘bakal melelahkan’. Skeptis!

Avengers bukan yang pertama dalam berpanjang-panjang urusan durasi putar. Ada The God Father, Lord of the Rings: The Return of the King, Gone with the Wind, Schindler’s List, Seven Samurai, Green Mile, Dances with Wolves, The Ten Commandment, Malcolm X, King Kong (2005), Troy, Titanic. Durasi film-film tersebut, versi potongan sutradara, melebihi 160 menit. Bahkan ada yang 200 menit. Tapi versi tayangan untuk penonton umum, atau yang dirilis ke publik kurang lebih 140-160 menit. Masih cukup panjang juga!

Nah, film-film mutakhir, lima tahun terakhir, seperti ingin kembali ke masa-masa ‘memaksa’ penonton betah duduk lama di gedung bioskop. Rerata durasi 90-120 menit sepertinya terlalu pendek. Dua jam terlalu singkat. 

Ini bukan sekadar urusan pembuat film kesulitan memendekkan durasi film. Bukan pula urusan ketidakmampuan bertutur pembuat film dalam durasi singkat. Banyak pertimbangan film-film kembali memperpanjang durasi putar. Pertama, tentunya materi film atau cerita memang bagus, dari depan hingga akhir, sangat menarik. Dramatik juga sangat luar biasa. Alur maupun plot di tiap bagian cerita menjadi kelindan yang antusias diikuti penonton. Bahkan durasi panjang juga memungkinkan pembuat film memberikan yang terbaik dari pengambilan gambar yang sudah mereka lakukan.

Durasi pendek, atau standar dua jam pemutaran, menjadikan pembuat kurang leluasa membangun cerita dan menggiring penonton hingga bagian klimaks. Klimaks pun beragam, ada film dengan klimaks yang dibangun bak roller coaster, naik-turun berkali-kali, namun penonton tetap menikmati bagian-bagian tersebut.

Film-film biografi, sering menjadi media ‘orgasme’ pembuat film dengan durasi panjangnya. Banyak bagian dari tokoh yang ingin dituturkan dari berbagai sisi. Sebut saja, Gandhi, JFK, Wyatt Earp, Schindler's List, Malcolm X, Nixon, Alexander. Sebagian besar berhasil membuat betah penontonnya. Bahkan mereka terkagum dengan setiap bagian yang dihadirkan pembuat film. Untuk film bagus dan impresif, tiga jam juga bukan waktu yang panjang. Dengar saja cerita mutakhir para milenial yang betah berlama-lama menyaksikan End Game selama tiga jam. Sinemata dua kali menyaksikan End Game di teater yang bisa selonjoran (Premiere), sangat nikmat menyaksikan sajian laga superhero. 

Film berdurasi panjang juga cenderung detail. Sebagian besar bahkan diganjar Oscar. Sebut saja Gandhi, JFK, Schindler’s List, Malcolm X, Titanic, Wolf of Wall Street, The Deer Hunter, Apocalypse Now, Forrest Gump, Saving Private Ryan, The Sound of Music, The Green Mile, The Bridge on the River Kwai, Pulp Fiction, Avatar. Masih banyak film-film dengan durasi panjang, bahkan mereka identik dengan penghargaan. Salah satu unsur dari film tersebut menerima penghargaan ‘The Best’.

Film-film mutakhir memang tidak berdurasi tiga jam, tapi memilih sudah di atas dua jam, dan ada kecenderungan durasi makin panjang. Selain End Game, ada It Chapter Two (2 jam 50 menit), Once upon a Time in Hollywood (160) menit), Star Wars: The Rise of Skywalker (155 menit), Ford v Ferrari (152 menit), Doctor Sleep (151 menit), Midway (138 menit), Midsommar (138 menit), Terminator Dark Fate (134 menit).

Sisi positif film-film berdurasi panjang lainnya, tentu saja ‘mengenyangkan’ penontonnya. Siapa yang suka disodori dongeng menarik dan berpanjang-panjang, melenakan, mengesankan. Dan terhibur!

Apakah film berdurasi panjang mengurangi pemasukan buat produser atau pembuat film. Bisa iya, bisa juga tidak. Tidak kalau menjadi film laris, block-buster, hit dan dibicarakan. Sudah pasti pembuat berpikir sekuel. Cerita lanjutannya. Film laris mustahil tidak dibuat lanjutannya. Episode Star Wars sudah berjilid-jilid, Avengers, selain berjilid, ber-spinoff, beranak pinak jadi cerita baru. Begitu juga cerita-cerita klasik seperti Lord of the Ring. Semuanya berdurasi panjang lebih dari dua jam. Tetap dinikmati, tetap laris. 

Meskipun sesungguhnya, bioskop belum tentu menjadwalkan pertunjukan lebih banyak dibanding film berdurasi normal di bawah dua jam. Film berdurasi di atas dua jam, di Indonesia sudah pasti hanya empat pertunjukan dalam sehari. Berkurang satu show. Dari sisi jumlah pemasukan sudah tentu berkurang. Ini mengurangi jumlah pemasukan buat filmnya. Meskipun film-film berdurasi panjang ini masuk sebagai film block-buster. 

Bagaimana film Indonesia? Masih mencoba mengikuti pakem durasi standar di bawah 120 menit atau di bawah 2 jam. Sedikit yang berani berpanjang-panjang dengan durasi putar. Kemampuan bertutur tanpa kehilangan energi cerita, kemampuan mengatur alur cerita, dramatik hingga mampu menghibur penontonnya, hanya beberapa film maker saja yang mampu. Bumi Manusia dengan durasi lebih dari dua jam, tidak mampu memikat penonton dan memberikan hiburan yang mengesankan. Film Soekarno punya durasi 127 menit, masih menarik. Bahkan ditambah durasi hingga 142 menit, masih mengesankan. Sayang, empat kali pertunjukan dalam sehari, tak mampu mengembalikan modal produsernya.

Bagi pembuat film Indonesia, durasi panjang adalah dilema. Tapi bagi Hollywood Bollywood, sepertinya ada kecenderungan makin panjang durasi, film-film mereka makin memikat dan kerap diapresi penghargaan. Setuju?

(Sinemata/ ANH/ AMI)

Tags