Headshot: Menyisakan Romansa Opera Sabun di Antara Kerasnya Laga
BAHWA Headshot memang brutal di setiap aksi laga, juga lebih banyak desingan peluru setiap kali senjata api meletup. Tapi tetap saja romance scene Ishmael (diperankan Iko Uwais) dan Ailin (Chelsea Islan) paling menyita perhatian. Dan duo sutradara Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel begitu pas meramu setiap bagian film ini.
Koreografi tim Iko Uwais menata setiap adegan laga penuh perhitungan. Kalau pun ada adegan laga berlama-lama karena memang dibutuhkan dan menjadikan Headshot lebih dramatis. Saat perkelahian di kantor polisi antara Ishmael dan duo-psikopat Tano dan Tejo, butuh sekitar lima menit lebih untuk menuntaskan pertarungan di antara mereka.
Nyaris di setiap laga, minim adegan pengulangan gerakan yang sama. Koreografi begitu beragam. Jadinya, adegan laga di film Headshot begitu enak dinikmati. Meskipun, sebagian penonton kerap menahan napas dan ngilu menyaksikan pinsil menancap di leher, mesin ketik mampir di kepala. Atau cakaran di leher yang sampai menembus kulit terdalam. Belum lagi seringnya hantaman tongkat besi menghajar kepala. Beruntunglah penggemar film-film laga saat menyaksikan koreografi menawan yang menjadikan Headshot enak dinikmati.
Sepertiga cerita Headshot bertutur tentang relasi antara Ishmael dan Ailin. Sebagai love interest dari tokoh utama, Ailin menjadi banyak alasan jalan cerita Headshot menarik. Lewat Ailin, tokoh Ishmael mengupas masa lalunya. Ailin pula yang menjadi kausalitas Ishmael terus membunuh musuh-musuhnya. Bangunan cerita Headshot tak ubahnya seperti menyusun puzzle. Teka-teka masa lalu Ishmael terjawab dengan menyusun bagian-bagian puzzle untuk membentuk bangunan cerita yang utuh. Teka-teki ini sekaligus menjawab masa lalu Ishmael.
Itu sebabnya, duo-sutradara Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel dipuji mampu memadukan adegan lada dan drama romantis lebih proporsional. Dengar saja pujian Dian Sastrowadojo yang menyebut adegan laga dan kisah cinta Ishmael sangat keren. Keinginan pembuat Headshot memberi ruang kepada penonton – atau setidaknya memberi jeda – menikmati keintiman Ailin dan Ishmael, merupakan pilihan tepat.
Namun bagusnya laga dan romantisnya cerita Headshot bukannya tanpa lubang kelemahan sebagai cerita utuh. Begitu cepat penonton diminta bersimpati pada tokoh Ishmael, meskipun masa lalunya kelam. Sebagai pembunuh bayaran yang selalu meninggalkan darah dan korban, terlalu cepat titik balik yang dipilih Ishmael berbalik melawan sang bos. Apalagi, ia harus membunuh ‘saudara-saudaranya’ demi alasan the fittest to survive.
Tapi harus diakui pertarungan Ishmael menghadapi pasangan psikopat Tani-Tejo, Besi, Rika, hingga Mister Lee menjadi sajian memikat. Barangkali penyuka film laga juga akan mengabaikan elemen perubahan masa lalu sang jagoan. Toh romantisme Ishmael dan Ailin sudah cukup menyentuh. Dengarkan saja, sorak-sorai penonton di bagian akhir cerita. Bukankah keriuhan mereka sudah cukup membuktikan bahwa klimaks cerita benar-benar memenuhi harapan penonton.
(Sinemata/*)
Sutradara: Timo Tjahjanto & Kimo Stamboel