CEK TOKO SEBELAH: Menjaga Toko Atau Meniti Karir Setinggi Langit
JIKA menilik kisah di film pertama Ernest Prakasa, persoalannya mengenai dirinya yang terlahir sebagai etnis Tionghoa. Terlahir sebagai etnis minoritas membuatnya saat itu kehilangan kepercayaan diri sampai saat ia berkeluarga. Kisah cinta dan kehidupan pribadi menjadi daya jual di film berjudul Ngenest tersebut.
Di film keduanya, Cek Toko Sebelah, Ernest masih berbicara soal etnis Tionghoa. Namun, dengan naskah yang rapi, karakter yang lebih kuat, cerita lebih menarik, terpenting lagi kekinian isu CTS sangat mengena. Bahwa sisi minoritas tetap menjadi bahan olok-olok diri, menjadi kelucuan yang mampu menggelitik saraf tawa penontonnya. Sebagian penonton malah terpingkal-pingkal sepanjang film.
CTS juga sangat menarik membingkai persoalan relasi anak-bapak dan masalah warisan. Bahwa ada kecintaan terhadap anak kesayangan dan menyisihkan anak lain yang dianggap tak mampu dan pemberontak, adalah persoalan banyak keluarga. Begitu juga menyoal pencapaian status generasi masa kini yang lebih menyukai menjadi orang gajian daripada mengurus toko klontong warisan orangtua. Persoalan ini pun merupakan isu universal yang banyak dialami banyak keluarga.
Alhasil, CTS memang memiliki kedekatan cerita maupun emosi dengan penontonnya. Bahkan begitu emosionalnya, tak sedikit penonton mewek menyaksikan toko yang menjadi warisan dijual. Termasuk rekonsiliasi anak-bapak. Itu sebabnya, CTS dianggap lengkap sebagai tontonan, ya penuh tawa, sekaligus bikin mewek penontonnya.
Koh Afuk (Chew Kin Wah) menghadapi kenyataan pelik, Yohan si anak sulung dianggap tak mampu meneruskan toko kelontong miliknya. Selain pernah masuk penjawa, Yohan berkawin dengan Ayu, perempuan yang sebenarnya tak diharapkan Koh Afuk. Yohan juga memilih sebagai fotogtrafer, profesi yang tak pernah dipahami ayahnya.
Erwin, anak kedua Koh Afuk, memilih profesi sebagai orang kantoran. Kariernya moncer setelah Erwin ditunjuk memimpin kantor di Singapura. Sementara Koh Afuk ingin Erwin mewarisi tokonya. Itu sudah dibuktikan Erwin yang janji sebulan mengelola toko. Erwin punya tekanan tersendiri harus berkarier kantoran. Sang kekasih merasa karier kantoran akan melambungkan status mereka dibanding mewarisi toko kelontong. Melihat kondisi yang begitu dilematis, Koh Afuk memilih menjual tokonya.
CTS diakui memiliki kompleksitas problem keluarga yang sangat mengena. Selain itu, komedi yang dihadirkan juga sangat cair. Para pelayan toko di dua toko bersebelahan yang hadir menghadirkan kekinian komedi yang dipahami penonton. Soal sejoli beda toko yang saling jatuh hati, pelanggan pengutang, urusan harga jualan sampai urusan bau ketek menjadi guyonan yang sangat pas. Komedi CTS juga sangat situasional, sebut saja gaya oldies Mbak Welas yang berperan sebagai atasan Erwin. Dengan guyonan lagu tema sinetron Keluarga Cemara, mencoba menggelitik saraf tawa penonton yang pernah menikmati tayangan sinetron keluarga tersebut. Dan guyonan repetitifnya tetap saja menggelitik.
Satu lagi yang terpenting, CTS menjadi salah satu drama komedi keluarga yang berhasil menyampaikan pesan filmnya lebih cair dan menghibur.
“Harta yang paling berharga adalah keluarga...” Bisa terusin syair lagu tersebut? Gak bisa? Wah Katrok...!
(Sinemata/TR)
Sutradara: Ernest Prakasa
Pemain: Ernest Prakasa, Dion Wiyoko, Chew Kin Wa, Gisella Anastasia, Adinia Wirasti, Dodit Mulyanto, Arafah, Adjis Doaibu, Awwe, Yusril Fahriza, dan Asri Welas.