Posesif: Cinta (Tidak) Selesai Hanya dengan Menyatukan Beda
ADA pakem tak tertulis, membuat film remaja romantis sukses, harus mampu menyeret emosi penontonnya. Mengharubiru. Menyayat. Platonis dan dramatis. Istilah kids zaman now, film yang bisa bikin baper (terbawa perasaan). Over-dramatic. Film Posesif tidak terlalu mengikuti pakem ini.
Posesif memilih menawarkan problem relasi cinta remaja yang lebih dalam. Tidak sekadar bercerita tentang perasaan berbungah. Bahwa mabuk asmara ada konsekuensinya. Bahwa perasaan memiliki itu juga harus menyingkirkan perasaan lain. Bahkan bila takarannya sampai overdosis, perasaan memiliki bisa menghancurkan. Sisi psikologi ini yang ingin ditawarkan pembuat Posesif.
Posesif memang bercerita tentang cinta anak muda. Film romantis yang juga banyak dibuat rumah produksi lain. Namun bukan cinta platonis, cinta ideal yang menyatukan perasaan yang berbeda. Cenderung dramatis berikut liku-liku-nya. Berbeda dibanding Posesif, persoalan cinta bukan sekadar menyatukan perbedaan atau ketertarikan terhadap lawan jenis setelah berhasil meruntuhkan sekat perbedaan. Posesif menawarkan bahwa cinta merupakan awal masalah yang tak selesai hanya dengan menyatukan perbedaan.
Posesif juga melihat bahwa perasaan memiliki dalam relasi cinta, bisa berakibat buruk. Apalagi bila diabaikan hanya dengan memaafkan setiap kali pasangan berbuat kesalahan. Tanpa menyebut sebagai film edukasi, Posesif sudah menjelaskan secara gamblang ada yang salah di balik kata cinta.
Tokoh Yudhis adalah gambaran anak muda yang Nampak terlihat normal. Dan layak dapatkan cinta cewek seperti Lala. Kehadiran Yudhis membuat berantakan relasi dan bapaknya. Juga cita-citanya meraih medali emas sebagai atlet loncat indah. Sikap posesif Yudhis juga menjadi masalah hubungan cinta Lala dan Yudhis. Namun bagi Lala – setelah memahami problem Yudhis – ia memaklumi cinta memang harus bisa menerima pasangan. Dalam kondisi terburuk sekali pun.
Posesif juga menarik dari latar cerita tokoh utama yang atlet loncat indah, cabang olah raga yang jarang menjadi latar cerita. Padahal, setiap adegan saat-saat Lala loncat dari ketinggian, menjadi bahasa visual yang kuat. Keraguan dan kebimbangan saat meloncat adalah metafora pilihan cinta Lala. Dan sang tokoh utama tahu konsekuensi pilihannya. Bila buruk awalnya, hasilnya pun buruk. Salah dalam mengambil awalan, pun bisa berakhir buruk di kolam.
Tokoh Lala memahami kedewasaan dalam menentukan pilihan ini. Itu sebabnya, pembuat film menjadikan ending cerita sebagai narasi umum yang terjadi buat anak-anak yang salah langkah. Silakan cermati.
(Sinemata/*)
Sutradara: Edwin
Pemain: Putri Marino (Lala), Adipati Dolken (Yudhis), Gritte Agatha, Chicco Kurniawan, Cut Mini, Yayu Unru