The Greatest Showman: Panggung Hiburan Termulia untuk Membahagiakan Penonton
Hugh Jackman sebagai PT Barnum di tengah pemain sirkusnya dalam film the Greatest Showman (dok: billboard)
THE Greatest Showman terinspirasi dari kisah entrepreneurship PT Barnum dalam mengelola bisnis hiburan. Pada pertengahan hingga akhir abad ke-19, saat bisnis pertunjukan tidaklah lazim. Apalagi yang dipertontonkan adalah manusia-manusia aneh dan dianggap kutukan bagi warga. PT Barnum justru melihat kelebihan dan mengkomersialkan menjadi bisnis pertunjukan. Dan sukses!
Sebagai film drama musikal, The Greatest tidak saja istimewa dari sisi pemeran yang terlibat dan cerita PT Barnum. Dari lagu-lagu yang dihadirkan, juga cerita dan sisi dramatik, The Greatest sangat menawan. Meskipun demi kebutuhan film, kisah PT Barnum tidak semulia kehidupan sang tokoh sesungguhnya. Begitu juga karakter Philip Carlyle yang dimainkan Zac Efron. Karakter Carlyle dalam kehidupan Barnum adalah James Anthony Bailey. Bersama Bailey, Barnum membesarkan sirkus Barnum and Bailey yang terkenal se-antero Amerika. Itu sebabnya, pembuat The Greatest memilih menyebut sebagai film yang terinspirasi dari kehidupan bisnis hiburan PT Barnum. Bukan biografi.
Termasuk misalnya bagaimana sisi dramatik kerugian pertunjukan PT Barnum menggelar konser Jenny Lind keliling Amerika. Digambarkan di film bahwa Barnum mengalami kebangkrutan. Dan makin runyam bisnis sirkusnya kolaps setelah mengalami kebakaran. Sesungguhnya tidak demikian. Justru kekayaan Barnum berlipat-lipat setelah menjalani pertunjukan maraton penyanyi Jenny Lind. Bahkan dalam kurs masa kini, keuntungan yang didapat dari pertunjukan Lind mancapai 14 juta dolar.
The Greatest harus diakui juga menyisakan beberapa kekurangan dalam pengadeganan dan struktur dramatik. Ada kelemahan dalam memikat emosi penonton. Bahkan terlalu rapat dalam menentukan pace dramatik film. Hasilnya, The Greatest kurang kuat menarik emosi penonton. Justru kemasan musikal kontemporer The Greatest, mampu membuat penonton merasakan atmosfer pertunjukan Barnum. Ada keriaan dan kesenangan mengikuti lagu-lagunya. Kehadrian Zendaya – pemeran Anne Wheeler – ikut mendongkrak kualitas The Greatest sebagai film musikal. Dan yang tak bisa diabaikian tentunya koreografi dan menjadikan arena sirkus sebagai tempat yang memungkinkan dieksploitasi hingga tampil memikat.
Yang menarik tentunya adalah pesan sosial yang ingin disampaikan pembuat The Greatest Showman. Perbedaan kelas sosial, resistensi ras maupun cacat fisik, atau tipisnya garis antara mengeksploitasi dan menolong menjadikan The Greatest menjadi ramuan memikat. Persis seperti kalimat emas yang diucapkan PT Barnum: “bahwa panggung hiburan termulia adalah yang mampu menghibur penontonnya”. Dan pembuat The Greatest Showman mampu memahami betul kalimat ini dalam film mereka.
Phineas Taylor Barnum menjadi yatim piatu di usia muda. Ia lambungkan cita-cita demi memutus garis kemiskinan keluarga. Termasuk keinginannya menikahi putri keluarga Hallett, Charity, yang kaya raya. Hinaan keluarga Hallett tak menyurutkan Barnum menikahi Charity. Ia pun bertekad memberikan mimpi kehidupan yang serba-indah untuk Charity. Dan melalui sirkus, Barnum jatuh bangun mambangun bisnisnya, hingga ia mampu memulai kehidupan sebagai keluarga kaya di Amerika. Apalagi setelah bertemu Carlyle yang membantu mengemas pertunjukan sirkus lebih berkelas.
Selain itu, Barnum juga keberhasilannya memanggungkan Jenny Lind – penyanyi Swedia yang popular di Eropa – menjadi pertunjukan kelas menengah atas di Amerika. Namanya melambung sebagai impresario, maestro pertunjukan, filantropis hingga politikus (bagian yang tak dikisahkan di film). Barnum pun dikenal juga karena kedermawanannya, meskipun masih menyisakan cerita usang tentang eksploitasi yang ia lakukan terhadap pemain-pemain sirkusnya. Tapi di Amerika, PT Barnum tetap dikenang sebagai The Greatest Showman.
(Sinemata/ *)