Dua Garis Biru: Konsekuensi Ketabuan yang Terjembatani
STROBERI dalam alat pembuat jus. Itu satu gambar yang melekat sampai film Dua Garis Biru berakhir. Begitu juga ondel-ondel dan poster Korea yang terbaca, “Hwaiting!” Penuh simbol dengan gambar yang diambil apik. Semua simbol tidak sekadar berdiri sendiri. Justru memberi kesan-kesan dalam mewarnai cerita.
Dua Garis Biru merupakan film karya sutradara debutan, Gina S Noer setelah biasa menjadi penulis skenario. Ayat-Ayat Cinta (2008), Habibie dan Ainun (2012), {rudy habibie} (2016), hingga Posesif (2017), semua ikut dtulisnya. Kali ini, Gina duduk di komando terdepan. Naskah yang pertama kali ditulis tahun 2009 ini menjadi karya penyutradaraan pertamanya.
Bercerita tentang Bima dan Dara, dua siswa SMA yang melakukan hubungan seksual tanpa tahu konsekuensinya. Bukan hanya menjadi masalah mereka berdua, tapi menyeret seluruh anggota keluarga. Kehamilan di usia dini menjadi problem yang luar biasa berat. Penuh sesal, bikin muram, masa depan serasa kelam. Belum lagi perubahan fisik yang terjadi. Perut membesar dan makin merepotkan. Gina S Noer, mampu menggambarkan masa-masa kritis kehamilan dini bukan sekadar masalah personal. Begitu banyak melibatkan emosi hingga penonton turut larut.
Persoalan kehamilan dini juga jadi masalah tersendiri buat pasangan berbeda status sosial. Bahwa yang kaya merasa dirugikan. Orang tua berpunya juga cenderung dominan. Baik dalam mengambuil keputusan maupun menentukan masa depan sang anak. Kebetulan Dara yang dari keluarga mampu harus terusir dan kehilangan kemudahan di rumahnya. Dara merasa asing pada lingkungan baru keluarga si cowok. Kebetulan Bima dari keluarga tak mampu yang tinggal di kampung kelas bawah. Lagu-lagu dangdut terdengar sampai kamarnya menjadi melodi pengantar tidur. Dara merasa makin tertekan.
Akting para pemain pantas dipuji. Bukan hanya efektif berperan sebagai individu-individu. Relasi antarkarakter juga terasa nyaman dan dinamis. Mulai dari kemarahan dan kesedihan. Obrolan dan celetukan kecil antara karakter menjaga film jauh dari membosankan. Mereka hidup dalam layar. Cut Mini, sebagai ibu dari Bima, tentunya yang paling layak dipuji. Akting dan emosinya terkontrol, namun sesekali meledak ketika terusik. Sangat dinamis. Lulu Tobing yang berperan sebagai ibu Dara pun tak kalah menawan. Ia mampu memainkan peran sebagai ibu yang dominan dengan baik. Adegan permintaan maaf yang ditemani alunan musik ‘Jikalau’ karya Naif mampu membetot emosi penonton. Sangat menyentuh. Rachel Amanda juga tanpa disangka sukses menjadi scene stealer, pencuri perhatian, meski kemunculannya hanya sebentar.
Dua Garis Biru bisa jadi sarana pendidikan seksual bagi remaja kebanyakan. Membicarakan seks, juga kehamilan dini, biasanya tabu. Awalnya, sebelum film beredar, sudah ada niatan memprotes Dua Garis Biru. Bagusnya rencana protes meredup dengan sendirinya. Mungkin akhirnya disadari Dua Garis Biru justru menjadi media dialog bagi anak dan orang tua.
Namun Dua Garis Biru bukan tanpa kekurangan. Penonton yang sudah pernah menyaksikan film produksi Hollywood, Juno (2007), tentu berpikiran bahwa keduanya memiliki kemiripan cerita. Si bayi dicarikan orangtua asuh tentunya sebangun. Bagaimana menghadapi kehamilan dini, pihak perempuan yang paling dilematis, juga tak jauh beda. Namun kalau pembuat ingin mengatakan bahwa premis yang dibangun sama atau mirip, ya memang begitulah kondisi emosi ibu muda. Berikutnya, beberapa adegan hening dan luapan emosi tak jauh beda dibanding pengadeganan Lala meluapkan emosinya di film Posesif (2017).
Namun secara keseluruhan, Dua Garis Biru makin menarik ketika industri film Indonesia lama tidak menghadirkan cerita yang komunikatif. Cerita film yang menjadi isu besar dan membuat khawatir orang tua, tapi jarang dibicarakan karena tabu, sekaligus malu diungkapkan. Dua Garis Biru seakan menjembatani komunikasi tak tersambung antara orang tua dan anak. Tanpa perlu menggurui, langsung pada esensi. Anak maupun orangtua langsung sadar akan konsekuensi apabila isu ini tak dibicarakan.
Bravo Dua Garis Biru. Layak diapresiasi dan pantas jadi film box office 2019!
(Sinemata/ ANH)
Sutradara: Gina S. Noer
Pemain:
Angga Aldi Yunanda (Bima), Adhisty Zara (Dara), Lulu Tobing (ibu Dara), Cut Mini Theo (ibu Bima), Dwi Sasono (bapak Dara), Arswendi (bapak Bima)