Pretty Boys: Ironi Kegilaan Lelaki Cantik Meraih Popularitas
PRETTY Boys memang diniatkan sebagai drama komedi satir. Satu keberanian tersendiri buat debut penyutradaraan Tompi, menjadikan Pretty sebagai film pertamanya. Namun pembuat sepertinya sadar tema dan isu Pretty juga seksi untuk digarap. Alhasil, Pretty jadi tontonan menarik, menghibur dan – syukur-syukur – bisa menangkap pesan yang ingin disampaikan pembuat.
Penonton mafhum dengan menghadirkan dua pemain – Desta Mahendra dan Vincent Rompies – hiburan apa yang bakal mereka dapatkan. Rasanya ekspektasi ini yang tak meleset. Penonton mendapatkan hiburan segar nan lucu. So, melengganglah Pretty Boys sebagai film yang mampu meraup 670-an ribu penonton selama tiga minggu pemutaran. Sudah cukup bagi produser kembali modal dan untung besar. Jackpot-lah!
Menyaksikan duo-lucu, Desta dan Vincent dalam Pretty Boys, seperti menyaksikan keseharian mereka tampil di layar televisi atau radio. Begitu juga guyonan mereka, tak beda seperti yang penonton pirsa dan dengarkan. Gambaran ini yang memudahkan mereka memancing tawa penonton. Ada beberapa adegan komedi lumayan segar, tapi tak sedikit pula kelucuan Desta-Vincent terasa klise. Keleluasaan keduanya memainkan slapstick pun kerap mengundang tawa. Kekonyolan mereka seperti set-piece yang hadir seperti gong dan menjadikan tawa penonton lebih keras terdengar.
Harus diakui, tidak mudah memancing saraf tawa, dibanding mengundang derai air mata penonton. Film komedi jauh lebih menantang dibanding membuat drama kesedihan. Tompi, memang dianggap rookie dalam penyutradaraan, namun melihat hasil Pretty Boys, rasanya seperti menyaksikan sutradara yang piawai mengolah tempo kelucuan dan drama dalam satu kemasan menarik. Wajar penonton juga sesekali sembab matanya menyaksikan adegan-adegan menyentuh.
Pretty Boys punya isu seksi untuk dinikmati. Soal industri pertelevisian yang begitu instan melambungkan popularitas seseorang, sekaligus menjadi panggung penuh intrik dan tipuan. Tompi cukup berhasil. Tepuk tangan dan sanjungan tak selalu seperti yang terlihat di layar. Gemerlap panggung televisi yang melambungkan popularitas sang bintang, kadang semu, penuh tipuan. Pseudo-popularity!
Kegilaan-kegilaan yang menghibur di layar televisi, sesungguhnya menjadi satir popularitas pepesan kosong. Pembuat Pretty Boys cukup berhasil. Namun cukup gagal juga memberi pemahaman penonton yang keukeuh bertanya kenapa harus menghadirkan kelompok transgender? Pembuat dianggap tak sensitif, ketika isu kelompok transgender dianggap sebagai ‘musuh’ kelompok agamis di negeri ini. Padahal mereka ini pernah begitu riuh mewarnai layar televisi. Pretty Boys diangap membuka peluang kembali isu penolakan LGBT. Setidaknya dianggap mengolok-olok kelompok transgender.
Tapi kalau menyaksikan secara keseluruhan Pretty Boys, justru banyak pembelaan soal isu transgender. Di antaranya lewat tokoh yang diperankan Tora Sudiro. Kehidupan waria jalanan ternyata sangat manusiawi dalam menjalin persaudaraan. Lewat tokoh Pak Jono, pensiunan tentara, juga menjadi cerminan banyak orangtua Indonesia. Bahwa sifat patriarki kepala keluarga pun akhirnya cair dan berdamai dengan sang anak. Cerita klise.
Pembuat Pretty Boys sadar bahwa film harus menyenangkan penontonnya. Cerita cinta harus hadir. Segitiga cinta Rahmat, Anugerah dan Asty, menjadi daya jual Pretty Boys. Juga tak masalah meskipun ceritanya klise. Setidaknya lewat tokoh Asty, Pretty Boys serasa lengkap dalam menghibur penonton. Ujian persahabatan ada di bagian ini. So gak perlu tunggu lama untuk memutuskan nonton film komedi drama ini. Buruan cuss aja ke bioskop, dah mulai susut nih layar bioskopnya!
(Sinemata/ AMI)
Sutradara: Tompi
Pemain: Vincent Ryan Rompies (Anugerah), Deddy Mahendra Desta (Rahmat), Danilla Riyadi (Asty), Onadio Leonardo (Roni), Imam Darto (Bayu), Roy Marten (Jono)