Susi Susanti Love All: Sedu Sedan Demi Pengakuan Kewarganegaraan

Susi Susanti Love All: Sedu Sedan Demi Pengakuan Kewarganegaraan

LOVE All adalah istilah di bulutangkis saat kedudukan kosong-kosong atau memulai pertandingan. Bisa juga dimaknai sebagai ungkapan cinta Susi Susanti untuk semua. Buat negeri ini, buat orangtuanya, buat kekasih atau buat penggemar. Perjalanan panjang pahlawan bulutangkis yang sempat tersiakan bangsanya terangkum dalam biopict Susi Susanti Love All.

Sayang, pada bagian masalah SBKRI (Surat Bukti Kewarganeragaan RI) pembuat film Susi Susanti terlihat gamang untuk bercerita terlalu jauh. Padahal kisah para pahlawan bulutangkis Indonesia yang kesulitan mendapatkan SKBRI, menjadi ironi paling memilukan dari mereka-mereka yang berjuang mati-matian membela merah-putih. Jangankan mendapatkan KTP, hanya selembar surat pengakuan kewarganegaraan saja sulitnya setengah mampus. Pemain-pemain sekelas Susi Susanti, Alan Budikusuma, Liem Swie King, Rudy Hartono, pelatih seperti Tong Sin Fu, Liang Chiu Sia diperlakukan sangat diskriminatif. Medali, gelar juara, Indonesia Raya berkumandang, seakan tiada arti bagi negara.

Kisah diskriminatif ini luar biasa memilukan pada masanya. Betapa tidak, stigma bahwa warga keturunan Tionghoa masih dianggap bukan warga Indonesia. Wajah buram rezim Orde Baru ini diingat generasi sebelum tahun 2000-an, Gus Dur menghapus semua masalah kewarganegaraan hingga agama dan kepercayaan warga Tionghoa. Kisah-kisah menyedihkan soal SKBRI, perlakuan diskriminatif, kesewenangan, sangat membekas. Menyayat. Perkecualian tentu ada, buat kroni rezim Orde Baru, walaupun Tionghoa, tentu dapat perlakuan istimewa, karpet tergelar! 

Sayang pembuat film Susi Susanti lebih memilih ‘berdamai’ dengan pasar. Kisah penindasan dijadikan warga kelas dua, hanya menjadi cerita permukaan. Kurang greget dan menyentuh. Kecuali adegan saat jumpa media Susi Susanti yang meledan-ledak mempertanyakan status kerwaganegaraannya. Padahal kondisi kontradiktif, ironis dan paradox benar-benar bsia dituturkan dengan jelas oleh banyak pelaku hingga hari ini. Pembuat Susi Susanti memilih kisah cinta dibanding drama kemanusiaan yang bisa hadir lebih artsy dan in-depth dalam mengangkat isu diskriminasi. Love story lebih menjual, lebih berpeluang dalam mengembalikan investasi produksi. 

Susi Susanti remaja, sudah Berjaya di kampungnya. Ia kalahkan juara bulutangkis saat tujuhbelasan. Prestasi ini mengundang klub Jaya Raya merekrutnya. Pada bagian awal ini saja sepertinya meninggalkan lubang certia. Tidak informatif. Apa cukup seorang Susi yang jmengalahkan pebulutangkis di acara tujuhbelasan sudah diboyong ke Jakarta. Ada beberapa plot hole seperti ini di film Susi Susanti Love All.

Alasan memulangkan Tong Sin Fu dan Liang Chiu Sia dari China untuk melatih atlet-atlet Pelatnas juga menyisakan tanya. Padahal dari kisah perjalanan bulutangkis negeri ini, peranan kedua pelatih sungguh luarbiasa. Buka saja koran-koran masa 1980an hingga 1990an. Mereka menjadi pelatih bagi maestro-maestro bulutangkis Indonesia. Tentunya ada alasan obyektif maupun subyektif ia lebih percaya pada Susi dibanding pemain lain, kenapa bukan Sarwendah atau yang lain. Chiu Sia hadir di pertandingan besar, saat Indonesia merebut Piala Sudirman hingga Susi merebut emas olimpiade.

Sampai sekarang, film olahraga di luar buatan Hollywood, film Dangal karya Aamir Khan masih menjadi referensi terbaik. Olahraga gulat yang tak popular, begitu dahsyat hadir di layar film. Mulai dari suara bantingan hingga visual yang begitu dramatik, membuat penonton antusias mengikuti detik demi detik setiap adegan pertandingan gulat. Permainan bulutangkis Susi yang menawan di layar TVRI saja tidak sanggup dihadirkan lebih menawan di layar film. 

Cerita cinta Susi Susanti Love All juga tak istimewa. Pacaran dua atlet Pelatnas hadir biasa saja, sesekali diselingi keluguan keduanya yang mengundang tawa. Tak ada resistensi atau penolakan keluarga, tak ada lelaki pesaing, tidak ada ironi atau yang bisa menjadi perdebatan penonton. Semuanya baik-baik saja, kecuali informasi menurunnya prestasi dua sejoli. 

Kisah cinta Susi-Alan nyaris tak menghadirkan kisah yang mengharu-biru, dramatik, romantis atau malah menyayat. Dan cerita pada bagian ini, hadir dalam porsi utama. Padahal penonton mafhum, setelah dua sejoli ini menikah, tak ada rahasia besar, atau gosip beredar. Semua normal-normal saja. Jauh lebih menarik soal masalah SBKRI, isu diskriminasi, standar ganda, perlakuan rasis di era Orde Baru. Lalu kenapa isu ini tidak jadi pilihan utama kisah Susi Susanti Love All yang rilis di 24 Oktober 2019 ini? Pembuat tentunya yang bisa menjawab.

Bisa jadi, tanpa cerita romantis, film bakal tak disuka. Atau barangkali film Susi Susanti Love All bukan konsumsi generasi yang menjadi saksi keberhasilan Alan-Susi. Tidak pernah tahu Alan-Susi mengawinkan emas olimpiade untuk kedua pebulutangkis yang humble, pemalu, sederhana, tampil apa adanya. Bahkan setelah meraih emas Barcelona penulis sempat menemui Susi di pelatnas. Wajah yang tampil tanpa dandan di film, memang begitulah keseharian Susi. Jerawatnya juga masih menghiasi pipi tanpa polesan untuk menyamarkan. Ia masih merasa asrama Cipayung bagian dari kesehariannya. Celana pendek dan sandal jepit juga menjadi teman wawancara masa itu. Begitulah Susi Susanti. Love All!

(Sinemata/ AMI)

Sutradara: SimF

Pemain: Laura Basuki (Susi), Dion Wiyoko (Alan Budikusuma/ Ahong), Kelly Tandiono (Sarwendah), Jenny Zhang (Liang Chiu Sia), Lukman Sardi (MF Siregar), Farhan (Try Sutrisno), Moira Tabina Zayn (Susi kecil), Rafael Landry Tanubrata , Rafael Landry Tanubrata (Hermawan Susanto), Chew Kin Wah (Tong Sin Fu)

Tags