Iklan di Film Indonesia: Belum Dilirik Tapi Potensial Menjadi Kanal Pemasaran (2)

Iklan di Film Indonesia: Belum Dilirik Tapi Potensial Menjadi Kanal Pemasaran (2)

HARUS diakui, menurunnya jumlah penonton film Indonesia, sepinya penjualan DVD, juga  menurunnya nilai penjualan royalti dari stasiun TV, membuat produser pun berpikir untuk melakukan sponsor terselubung, menjual built-in scene. Beberapa film merasakan hasil positifnya. Film Soekarno yang menjadikan Sinemata sebagai mitra marketing mampu menghasilkan Rp3,7 miliar, ditambah budget  promosi yang dibayarkan brand mencapai Rp4 miliar. Sudah sangat membantu menutup biaya produksi yang mencapai Rp22 miliar.

Film seperti Bajaj Bajuri The Movie pun terbantu ketika sponsor produk konversi bahan bakar  bersponsor di film tersebut. Lebih fantastis, konon sebanyak sembilan brand bersponsor di film Pendekar Tongkat Emas. Juga film Bapak Bangsa: Tjokroaminoto yang didukung produk seperti produk elektronik, merek tepung hingga perbankan dan brand besar lainnya. Tidak semuanya dilakukan melalui built-in scene, ada yang melakukannya dengan filler yang diinsersi di depan film.

Masih sedikit brand atau agensi yang melihat sisi positif serta efektifitas built-in scene atau product placement. Padahal dibanding kanal promosi dan pemasaran lain, media film sangatlah efektif. Belum lagi sisi eksklusifitas, lebih fokus, lebih lama mengendap di pikiran penonton, serta durasi kampanye lebih lama dinikmati. Ada operator kartu telepon, masih bisa menikmati kampanye promosi kartunya, bahkan enam bulan setelah film Sang Pencerah (2010) turun dari bioskop.

Bukankah penonton film Habibie & Ainun juga masih ingat ada E-Toll Card, produk makanan ringan dan kosmetik yang tiba-tiba meledak penjualannya. Sisi keberhasilan, sekaligus menyebalkan bagi penonton. Meski begitu, produser film akan selalu mengatakan, “Kami butuh dukungan sponsor (di film) meski kadang merusak mood dan emosi penonton film kami. Apalagi jumlah penonton film terus turun”.

(Sinemata/*)

Tags