NGENEST: Menertawakan Nasib, Tetap Saja Tak Mudah
KALAU membicarakan masalah suku, adat, ras, dan agama (SARA) di seluruh pelosok negeri memang terdengar sensitif. Banyak keributan terjadi hanya karena saling menyinggung masalah SARA. Di industri film, barangkali kasus dicekalnya beberapa judul film, juga dikarenakan masalah SARA. Begitu sensitifnya, sampai-sampai dalam panduan sensor film, SARA menjadi acuan utama dalam menyeleksi film atau cerita film bisa lolos sensor.
Namun film drama komedi Ngenest mungkin menjadi perkecualian. Di bawah payung rumah produksi Starvision, Ernest Prakasa hadir dengan film garapan pertamanya ini. Tagline film-nya -- Kadang Hidup Perlu Ditertawakan -- seakan menjadi filter dan mereduksi Ngenest menjadi film komedi yang tidak ‘berbahaya’. Ngenest juga seakan memberi pemahaman bahwa sesungguhnya, sikap diskriminatif terhadap keturunan Tionghoa sudah berlangsung lama dan tanpa merasa bersalah dilakukan oleh sebagian besar warga negeri ini.
Melalui film Ngenest, penonton seakan diingatkan bahwa banyak sekali tindakan sangat provokatif juga merendahkan, menjadi keseharian yang berlangsung tanpa rasa sesal. Sebagai warga minoritas, sesungguhnya tidaklah mudah menerima perlakuan tidak mengenakkan. Namun film Ngenest seakan menjadi paradoksal bahwa perlakuan diskriminatif bisa diterima dengan legowo. Duh, maafkan saudaraku!
NGENEST diangkat dari buku trilogi berjudul Ngenest, yang merupakan kisah nyata dari penulisnya, Ernest Prakasa. Sebelum disunting Starvision, ada beberapa PH yang juga menawarkan diri memfilmkan novel ini. Merasa karyanya sangat diapresiasi oleh produser, Ernest menerima tawaran Starvision. Film ini pun ditulis skrip, penyutradaraan dan diperankan oleh Ernest Prakasa sendiri.
Bercerita tentang Ernest, seorang Cina tulen yang ingin mengakhiri diskriminasi Cina yang ada pada dirinya. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa (Cina) masih begitu kental. Ejekan dan olok-olok sebagai anak Cina kerap diterimanya. Masa kanak-kanak hingga remajanya dilalui dengan cukup berat. Untung saja, ia memiliki Patrick (Morgan Oey), sahabat yang selalu menemani dan berjuang melawan diskriminasi.
Patrick sendiri akhirnya tak kuasa selalu dibully dan dikerjai rekan sekolahnya. Patrick pasrah dengan label Cina. Berbeda dibanding Ernest, ia ingin hidup normal, bukan berlabel Cina. Ia pun berkesimpulan bahwa untuk menyudahi diskriminasi hidupnya, ia harus menikahi cewek pribumi. Setidaknya, anaknya adalah keturunan pribumi, bukan Cina. Setidaknya, ia ingin memutus tali nasib terlahir sebagai Cina.
Di Bandung, Ernest bertemu Meira (Lala Karmela), gadis sunda yang berhasil memikat hatinya. Lagi-lagi deskriminasi Cina terbawa di dalam keluarga Meira. Awalnya Papa Meira (Budi Dalton) tidak menyetujui anaknya menikah dengan keturunan Tionghoa. Singkat cerita, perjuangan Ernest menaklukkan hati Papa Meira terjawab. Lima tahun berpacaran, Ernest berhasil menikahi Meira.
Menikah juga tidak gampang anggapan Ernest. Ia malah ketakutan memiliki anak. Punya anak, apabila terlahir bermata sipit, pun nasibnya akan seperti masa lalunya. Separuh film, bercerita tentang dilema penolakan memiliki anak ini. Hingga Meira pun frustasi menghadapi suaminya. “Apa yang loe takuti belum tentu terjadi”, menjadi mantra yang tak mampu menggoyahkan ketakutan Ernest.
Bagaimana akhir dari dilema memiliki anak atau tidak ini, menjadi konklusi menarik dari film Ngenest. Seperti apa hasilnya, silakan saksikan film yang hingga Minggu (3/1) atau lima hari peredaran sudah ditonton 280an ribu penonton ini.
Film Ngenest menyajikan banyak pesan moral. Bahwa sikap diskriminatif terhadap minoritas, sesungguhnya memiliki implikasi yang sangat luas. Ernest Prakasa mengemas film ini menjadi tontotan yang menghibur. Tagline film “Kadang Hidup Perlu Ditertawakan” pun benar-benar digambarkan dalam film ini. Hidup tidak selamanya penuh dengan kesedihan. Hinaan, cemoohan bahkan pelecehan pun bisa ditertawakan. Komedi tidak menjadi tempelan semata, tetapi menjadi unsur utama.
Di film NGENEST elemen ke-Cina-an dipaparkan apa adanya, malah terkesan seperti keluar dari stereotype. Penonton yang berdarah Tionghoa pun bisa merasa senasib dan menertawakan hidupnya seperti Ernest (diri sendiri) tanpa harus merasa tersinggung. Film ini seakan mereduksi dan obat untuk tidak sakit hati. Dan tentunya film ini memberi penyadaran bagi pelaku perundungan (bully), pelecehan, diskriminasi, maupun yang suka menghina kelompok minoritas.
(Sinemata/ TR)
Foto: dari berbagai sumber