Macbeth : Rumitnya Melayarlebarkan Drama Panggung Klasik

Macbeth : Rumitnya Melayarlebarkan Drama Panggung Klasik

MENYAKSIKAN film Macbeth, ibaratnya menonton gaya teaterikal panggung dengan dimensi ruang dan waktu. Atau tidak cuma gesture dan vokal drama panggung, tapi juga visual dengan latar lebih berwarna. Tapi tidak semua penonton bisa menikmati film dengan penggarapan gaya drama panggung dengan medium film. Apalagi kalau tuturan terucap masih dengan bahasa Inggris abad pertengahan, ala Shakaspearian.

Bagi mereka yang pernah menyaksikan lakon drama panggung Macbeth, menyaksikan film Macbeth seakan memperkaya dramatik film. Sebut saja, bagaimana sutradara membuat adegan pembunuhan yang dilakukan Macbeth terhadap King Duncan. Begitu juga kekejaman Macbeth di medan perang, sehingga menjadikannya sebagai pahlawan perang Cawder. Lebih dramatis dan lebih menawan. Tapi, sekali lagi, tidak semua penonton menyukai cerita yang mengalir bak puisi liris dalam novel Shakespear.

Macbeth berubah menjadi penguasa tiran setelah termakan oleh ambisi istrinya, Lady Macbeth, yang menginginkan kekuasaan Skotlandia. Kemenangan Macbeth dalam peran Cawder, semakin mengharumkan namanya. Apalagi tiga orang dukun perempuan, meramalkan nasibnya. Macbeth termakan ramalan bahwa ia akan menajdi penguasa Skotlandia dengan segala masalahnya. Termasuk ramalan tentang ancaman seorang anak yang lahir dari Rahim seorang ibu.

Setelah Macbeth membunuh King Duncan, ia pun berkuasa atas tanah Skonlandia. Sayang, hatinya tidak pernah tenang dengan ramalan sang dukun. Maka dibunuhlah anak-anak dari para pesaing yang kemungkinan mampu merebut kekuasaannya. Ambisi Macbeth membuta, termasuk menghabisi keluarga sekutunya, MacDuff. MacDuff selamat, kecuali seluruh keluarganya. Kegilaan Macbeth akan kuasa, menjerumuskannya menjadi penguasa tiran. Lelaki baik, berani dan tegas akhirnya malah tenggelam dalam kekejaman.

Macbeth versi sutradara Justin Kurzel, memang kelam. Termasuk adegan perang dan pembantaian yang begitu dramatik. Apalagi didukung pemain yang memahami drama panggung seperti Michael Fassbender. Fassbender piawai memainkan tokoh-tokoh yang ada dalam novel Shakespear. Tidak terkecuali Macbeth. Jadilah, sosok Macbeth begitu jelas tergambarkan lewat kekejamannya, ambisinya, hingga kewarasannya.

Sesungguhnya ada usaha dari Justin Kurzel memberi ruang bagi penonton memahami kerumitan konflik Macbeth. Di antaranya dengan berfokus pada dua tokoh utama, Macbeth dan Lady Macbeth. Padahal di karya Shakespear dialog Macbeth dan King Duncan, Banquo, tiga dukun lumayan panjang. Namun di film ini, sentral cerita pada kekuatan dialog Macbeth dan istrinya.

Setidaknya, garapan Justin Kurzel juga bisa menjadi referensi menarik film-film Macbeth dari beragam versi. Sebut saja misalnya yang pernah digarap Roman Polanski dan Orson Welles. Atau Macbeth versi Akira Kurosawa dengan latar cerita dan setting Jepang berjudul Throne of Blood. Ketiganya termasuk klasik. Macbeth versi Justin Kurzel kiranya setara dengan karya tiga sutradara tersebut, dan termasuk klasik.

(Sinemata/*)

Pemain:

Michael Fassbender (Macbeth), Marion Cotillard (Lady Macbeth), Paddy Considine (Banquo), David Thewlis (King Duncan), Jack Reynor (Malcolm)

Sutradara: Justin Kurzel

Tags