Eye in the Sky: Pilihan Etika Moral atau Korban Berjatuhan

Eye in the Sky: Pilihan Etika Moral atau Korban Berjatuhan

MORALITAS sering menjadi menjadi ukuran absurb. Tapi setidaknya nilai moral menjadikan manusia selalu mengedepankan sisi manusiawinya. Moral cerita Eye in the Sky semakin memperjelas bagaimana manusia harus bertindak dalam menentukan pilihan tersulit. Itu sebabnya, pilihan terhadap dilema selalu memiliki konsekuensi, sekecil apapun akibat yang ditimbulkan.

Eye in the Sky jadi menarik bukan sekadar menjual aksi militer dan moralitas saja. Isu terorisme dan memeranginya juga sangat mutakhir. Serangan teroris di Eropa, Asia, tanah Arab hingga Afrika, menjadikan problem dalam film Eye sebagai masalah banyak negara. Film yang disutradarai Gavin Hood ini menjual ketegangan dari depan hingga akhir tanpa perlu mengumbar adegan pertempuran. Tak ada aksi tembak menembak. Sepanjang 102 menit, penonton disuguhi sulitnya dilema memusnahkan kawanan teroris tanpa menimbulkan korban warga sipil.

Eye tetap menarik meski tidak diperani deretan bintang ternama. Helen Mirren dan Alan Rickman menjadi bintang tua yang jadi pemeran utama. Akting keduanya membuat setiap adegana Eye begitu hidup dan nyata. Meskipun, dalog maupun chit-chat cukup berpindah dari ruang pengendali operasi militer di Inggris, pengendali drone di Amerika dan para agen lapangan di Kenya. Selanjutnya adalah ulah teroris yang mempersiapkan ‘pengantin’ (pembom bunuh diri) melakukan aksi.

Di pagi buta Kolonel Katherine Powell sudah harus beranjak dari ranjangnya. Ia menuju ruang operasi militer. Di tempat lain di kantor kementerian pertahanan Inggris, sudah duduk tamu-tamu seperti jaksa agung, sekretaris menteri luar negeri dan tuan rumah Letnan Jenderal Frank Benson. Dinas rahasia Inggris dan informan mereka di Kenya melaporkan kehadiran buronan teroris Susan Danford. Susan sudah berganti nama menjadi Ayesha Al-Hady. Ia dan suaminya merupakan bagian dari jaringan teroris Al-Shabaab. Mereka tengah menyiapkan dua jihadis melakukan serangan.

Katherine butuh persetujuan menteri untuk melakukan serangan menggunakan drone. Bahkan perlu izin Presiden Obama, mengingat salah satu teroris berkewarganegaraan Amerika. Enam tahun Katherine sudah memburu Susan Danford. Ia tak ingin buruannya lolos lagi. Tak ada satu pun menteri, bahkan perdana menteri sekali pun memberi otorisasi Katherine melakukan serangan. Tak ada menteri bersedia bertanggung jawab atas serangan yang akan dilakukan. Sementara, tidak mungkin serangan ditunda kalau tidak ingin korban sipil berjatuhan.

Ketika persetujuan diberikan kepada Katherine, giliran pilot drone menolak melakukan pemboman. Aliya, bocah perempuan 10 tahun berwajah innocent, tiba-tiba menggelar dagangan roti di samping markas Al-Shabaab.  Dilema melakukan pemboman atau tidak, mewarnai dua pertiga durasi film. Etika moral menjadi perdebatan sengit di antara petinggi militer dan menteri-menteri yang tak berani mengambil keputusan.

“Jangan pernah katakan pada seorang tentara bahwa dia tak memahami akibat perang,” ucap Letnan Jenderal Frank Benson setelah drone menjatuhkan bom. Korban sipil berjatuhan, termasuk Aliya.

Pemain:

Helen Mirren (Kolonel Katherine Powell), Alan Rickman (Letjen Frank Benson), Aaron Paul (Letnan Steve Watts, pilot drone), Barkhad Abdi (Jama Farah), Jeremy Northam (Brian Woodale), Iain Glen (Sekretaris Menlu James Willet) Phoebe Fox (Carrie Gershon, pilot drone) Armaan Haggio (Musa Mo'Allim), Aisha Takow (Aliya)

Sutradara: Gavin Hood 

Tags