Pengaruh Festival Film Terhadap Kualitas Film Di Indonesia

Pengaruh Festival Film Terhadap Kualitas Film Di Indonesia

Semakin hari perhelatan festival film semakin lumrah di Indonesia. Sebut saja beberapa yang populer macam JIFFest (Jakarta International Film Festival), JAFF (Jogja-NETPAC Asian Film Festival), FFS (Festival Film Solo), FFP (Festival Film Purbalingga), dan sebagainya. Konsekuensinya bisa ditebak semakin banyak festival film, semakin banyak pula ukuran pencapaian yang bisa dijadikan rujukan bagi perkembangan film di Indonesia. Persebaran festival film seyogyanya juga adalah persebaran wacana. Namun, apakah kenyataannya semudah logika?

Menjamurnya festival film di Indonesia terkadang tidak disertai dengan keragaman positioning (penempatan diri). Memang ada beberapa festival yang dengan gamblang menetapkan posisi, seperti misalnya JAFF yang memposisikan diri sebagai etalase yang mempromosikan lanskap perfilman Asia. Ada juga JIFFest yang dahulu kala adalah festival film berbasis penemuan talenta baru perfilman Indonesia sehingga hari ini kita bisa menikmati karya-karya sineas macam Tumpal Tampubolon, Ariani Darmawan, Ucu Agustin dan beberapa yang lain yang notabene adalah ‘alumni’ JIFFEST. Permasalahannya, apakah setiap festival film yang muncul telah memiliki posisi yang jelas? Apakah setiap festival film telah menjadi subjek dengan perjuangan yang jelas?

Sebelum mengarah ke sana, ada baiknya kita menilik kembali sejarah festival film itu sendiri. Ia muncul pertama kali di Eropa, tepatnya di Venezia tahun 1932 sebagai yang kita kenal hari ini dengan Venice International Film Festival. Pun Venice tidak berdiri sendiri, ia hanyalah satu cabang dari sekian banyak cabang seni yang dibuatkan festivalnya oleh pemerintah kota Venezia yang memulai membangun satu persatu perhelatan seni sejak tahun 1895. Marijke de Valjk mencatat, bahwa tujuan Venice dan festival-festival awal adalah “sekadar” menjadi etalase pertunjukan bagi sinema nasional dari negara-negara rekanan. Valjk mencatat bahwa sejarah festival film terbagi menjadi tiga fase, yang pertama adalah fase ketika festival film menjadi galeri bagi sinema nasional (1932-1968), fase kedua ditandai dengan festival film sebagai patron bagi film seni (arthouse film) yang ditandai dengan menjamurnya penemuan-penemuan sineas baru. Fase kedua ini terasa sangat politis, mengingat akar keberangkatannya yang adalah revolusi para pelajar tahun 1968 di Prancis dan Italia. Salah satu saksi mata fase ini adalah Festival Film Cannes di Prancis.

(SINEMATA/IG)

Tags